866 hari. Memang bukan jumlah hari efektif yang sebenarnya. Tapi setidaknya itulah umur pertemanan dan kerja sama kita di perusahaan ini. Rabu, 30 September 2009 pukul 18.25 WIBMA (Waktu Indonesia Bagian Mesin Absensi) mencatat, itulah pertemuan terakhir kita sebagai rekan kerja. Gempa di Padang sore itu serta hujan gerimis di Jogja pada Kamis esok paginya, mengiringi kepergianmu. Tidak ada tangis yang mengharukan dan pelukan yang erat, karena pasti sangat memalukan kalau kita melakukannya.
Hari itu, Sabtu, 19 Mei 2007, adalah pertama kalinya aku menjumpaimu. Makhluk yang aku kira (dan temanku waktu itu) ‘berjenis kelamin wanita’ (meminjam istilah teman kita itu) ternyata adalah seorang pria tulen (tulen bener ‘kan). Siang itu, sepulang dari kantor, aku mengantarmu sampai di sekitar stasiun untuk mencari bus. Karena, menurutku waktu itu, kamu terlihat bingung untuk mencari transport jurusan kota tempatmu berkuliah sebelumnya. Kebetulan juga aku memang menuju ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja. Dan sejak saat itu kebersamaan kita dimulai dari Kandang Sapi, Pasar Kembang hingga terakhir di Pabrik Batik.
Proyek pertama yang kita kerjakan bersama, dan ternyata itu pula yang menjadi proyek terakhir kita, cukup banyak menceritakan tentang keahlian dan kehebatanmu dalam coding. Meski aku berada dalam proyek yang lain, tak jarang aku masih berkonsultasi dan meminta bantuanmu. Caramu menjelaskan dengan menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti, membuatku yang tak memiliki banyak pengetahuan soal coding, mudah untuk memahaminya. Menjadi kamus hidup bagi teman yang lain, bahkan mereka menyerempetkan namamu dengan salah satu mesin pencari yang terkenal, menjadi bukti ketangguhan dan pengakuan akan kemampuanmu.
Kecewa, sedih, dan takut? Jelas. Sering muncul di benakku: apa jadinya kami tanpa dirimu? Setengah bercanda, temanku bahkan bilang, kami akan mengalami masa-masa yang suram. Mungkin memang aku tidak berbakat memiliki seorang sahabat yang bisa bertahan lama. Dari zaman masih di bangku sekolah, kuliah sampai saat ini duduk di kursi yang beroda dan bisa berputar, tak pernah aku punya teman yang bisa disebut sebagai sahabat untuk berbagi. Salahku juga sewaktu aku memutuskan pindah ke Jogja. Sehingga kita tak bisa lagi berbagi cerita saat makan malam. Tak ada yang menemanimu makan nasi goreng yang terlalu asin atau nasi wader goreng yang porsinya terlalu kecil. Pikirku saat itu, ah, seorang kamu tidak benar-benar membutuhkan teman untuk bersosialisasi. Pasti kamu lebih senang menonton VCD atau membaca e-book di dalam kamar kostmu pada malam hari. Dan bukankah masih banyak teman-teman kuliahmu yang lain yang akhirnya menjadi teman kantor kita? Salah satu penyesalanku yang lain adalah kenapa kamu yang mendahului meninggalkanku, dan bukannya aku dulu yang meninggalkanmu. Lebih enak meninggalkan daripada ditinggalkan memang.
Cukup sudah segala penyesalan dan keluh kesah yang ada. Saatnya berpikir positif. Buang jauh-jauh pemikiran masa depan yang suram. Tuhan itu baik dan dia pasti memberikan pengganti yang sepadan. Jika seorang kamu pergi, pasti muncul kamu-kamu yang lain. Dan siapa tahu, bahkan lebih baik dalam hal yang sama maupun berbeda. Dengan kepergianmu (seharusnya) membuat banyak pihak belajar dan berintrospeksi diri (kalau mau), termasuk pula aku. Dan hal positif terakhir yang aku dapat adalah, setidaknya kepergianmu membuatku bisa meng-update blog yang telah lama kutinggalkan ini.
Selamat Jalan, Kawan! Semoga sukses dan Tuhan menyertaimu.
(*) Dedicated to the best programmer I’ve ever worked with, at least till now.
One thought on “866 Hari”